Senin, 12 November 2012

Syarat Baca Quran Timbulkan Prokontra


Syarat Baca Quran Timbulkan Prokontra

* Ghazali Abbas: Qanun LWN Produk Akal-akalan

BANDA ACEH - Pengesahan Qanun Wali Nanggroe (Raqan WN) oleh DPRA dengan menetapkan Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe Ke-9 masih menuai kontroversi. Syarat baca Quran yang tidak tercantum dalam qanun tersebut, menjadi salah satu fokus yang menimbulkan prokontra. 

Setidaknya, kemarin Serambi menerima dua siaran pers dari dua organisasi yang memberikan penilaian berbeda terhadap persyaratan tersebut. Di satu pihak, Front Pembela Islam (FPI) Aceh secara tegas menyatakan menolak Qanun Lembaga Wali Nanggroe (LWN), karena tidak memasukkan syarat wajib baca Alquran bagi calon Wali Nanggroe.     

Sementara di pihak lain, Pengurus DPP-Gerakan Intelektual Se-Aceh (GISA) mengajak kepada semua pihak agar memahami dulu isi dari Qanun tersebut, dan jangan mudah terpancing oleh provokasi pihak-pihak yang tidak senang dengan lahirnya Qanun ini. 

Ketua Front Pembela Islam (FPI) provinsi Aceh, Tengku Muhammad Yusuf Qardawi dalam siaran persnya menegaskan, dengan konteks Aceh Serambi Mekkah, tidak layak sebuah lembaga yang nanti akan membawahi semua instansi pemerintah di Aceh, termasuk Dinas Syariat Islam, tidak melakukan uji baca Alquran sebagai syarat menjadi pimpinan. 

“Kita menolak secara tegas, kita menilai tidak layak Wali Nanggroe kalau tidak bisa membaca Alquran, karena mengapa, di lembaga terendah saja harus bisa membaca Alquran, pemilihan keuchik saja harus baca Quran, apalagi Wali Nanggroe yang nantinya memimpin Dinul Islam,” ujarnya. 

Yusuf Qardawi mengkhawatirkan jika ini tetap dibiarkan, akan menimbulkan fitnah di kemudian hari, termasuk kemungkinan krisis kepercayaan masyarakat terhadap sosok Wali Nanggroe.  

Sementara itu, mantan anggota DPR/MPR RI, Ghazali Abbas Adan menilai adanya untuk pemaksaan kehendak dalam pengesahan Qanun LWN oleh DPRA ini. “terhadap hasil sidang paripurna pembahasan dan pengesahan Qanun Wali Nanggroe, saya juga dengan tegas menyatakan, ia adalah poduks akal-akalan dan pembodohan,” tulis Ghazali dalam siaran pers kepada Serambi kemarin. 

Ia menyebutkan, pernyataannya itu bisa dibuktikan dengan bunyi syarat menjadi Wali Nanggroe, seperti harus fasih berbahasa Aceh dan usulan mampu mambaca Quran dengan tartil. “Untuk fasih bahasa dinyatakan semua bahasa etnik yang ada di Aceh. Tetapi untuk mampu baca Quran dengan tartil tidak dieksplisitkan. Sebagai tokoh yang mulia, bekharisma dan bergezah tidak harus didengar kemampuannya oleh khalayak secara terbuka,” ujarnya. 

Seharusnya, kata Ghazali, orang Aceh yang menjunjung tinggi kemuliaan dan keagungan Alquran jangan merasa aib, hilang marwah, kharisma, dan gezah apabila diminta dan membaca kalamullah di tempat terbuka dan dengar oleh orang banyak. “Bahkan sebaliknya merasa tersanjung dan dimuliakan apabila diminta membaca Alquran di tengah-tengah khalayak,” ujarnya. 

Secara terpisah, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Intelektual Se-Aceh (DPP-GISA) Teungku Mukhtar Syafari jutru memandang syarat itu tidak perlu. Menurutnya, syarat bisa membaca Alquran untuk WN sebagaimana syarat menjadi kepala daerah kurang tepat dan sangat rendah. 

“Apalagi belakangan banyak calon kepala daerah lulus seleksi, padahal kemampuannya membaca Quran sangat jauh dari standar tuntunan ilmu tajwid. Ke depan kita mengusulkan, bisa baca Alquran sebagai syarat kelulusan Sekolah Dasar (SD), bukan untuk calon kepala daerah, apalagi kepada Wali Nanggroe yang kedudukannya sangat sakral,” tulis Mukhtar lewat siaran pers kepada Serambi kemarin. 

Kata Mukhtar, qanun ini sudah melewati fase penjaringan pendapat sangat alot dan terbuka pada saat pembahasan dengan melibatkan banyak pihak. Ia juga menjelaskan bahwa qanun produk manusia bukan Alquran. Peraturan manusia tentu ada kekurangan dan tidak mungkin mengakomodir pendapat semua pihak. “Yang penting mengakomodir pendapat mayoritas. Implementasi dulu, kalau nanti ada kekurangan masih bisa disempurnakan,” saran Mukhtar.(sal/nal) 

Editor : bakri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar