Rabu, 16 Mei 2012

GAMPONG WAJIB TUNTASKAN KASUS PIDANA RINGAN

BANDA ACEH - Kepala Satuan (Kasat) Pembinaan Masyarakat (Binmas) Polresta Banda Aceh, Kompol Djauhari Iskandar mengatakan, sejak diterbitkannya Keputusan Bersama Gubernur Aceh, Kepolisian Daerah (Polda) Aceh, dan Ketua Majelis Adat Aceh (MAA), nomor 189/677/2011, 1054/MAA/XII/2011, dan B/121/I/2012, aparatur gampong (desa) wajib menyelesaikan setiap kasus tindak pidana ringan (tipiring) yang terjadi di gampong, melalui peradilan adat gampong.

Pernyataan itu disampaikannya dalam sosialisasi “Penitipan Peran Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) kepada Lembaga Tuha Peut” di Kecamatan Kuta Alam, Sabtu (12/5).

Menurutnya, keputusan bersama itu memperluas kewenangan bagi pemerintah gampong. “Karena, dalam Qanun Nomor 9 tahun 2008 tentang 18 penyelesaian kasus ringan di tingkat gampong yang disahkan sebelumnya, juga telah memberi peran besar bagi gampong dalam menyelesaikan setiap kasus yang terjadi di tengah masyarakat,” ujar Djauhari.

Dia menjelaskan, kewajiban gampong menyelesaikan setiap kasus tindak pidana ringan (tipiring) yang terjadi di gampong, melalui peradilan adat gampong, tertera di bagian kesatu.

Bagian dimaksud berbunyi, sengketa/perselisihan yang terjadi di tingkat gampong dan mukim yang bersifat ringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 15 Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008, tentang pembinaan kehidupan dan adat istiadat, wajib diselesaikan terlebih dahulu melalui peradilan adat gampong dan mukim.

Dalam surat keputusan itu turut dijelaskan bahwa penyelenggaraan peradilan adat gampong dan mukim atau nama lain di Aceh, dalam memberi hukuman dilarang menjatuhkan sanksi badan, seperti pidana penjara, memandikan dengan air kotor, mencukur rambut, mengunting pakaian, serta bentuk lain yang bertentangan dengan nilai-nilai Islami.

“(sanksi seperti) Itu bukan bagian pembinaan atau menjadi bagian dari adat gampong. Tapi, itu bagian dari pelanggaran yang dilakukan aparatur gampong atau mukim. Bahkan tidak tertutup kemungkinan orang yang melakukannya itu akan berhadapan dengan proses hukum,” sebut Djauhari, tanpa memberi penjelasan tentang pembentukan peradilan adat dimaksud, yang memiliki legitimasi hukum tanpa menimbulkan keraguan dalam pelaksanaannya.(mir)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar